Kerja di kantor membutuhkan update pengetahuan. Pengetahuan itu macam-macam. Ada yang berhubungan dengan kantor, ada pula yang berhubungan dengan keluarga. Salah satunya yakni masalah anak. Anak sebagai pemberian Tuhan patut diperhatikan secara maksimal. Dalam hal ini manusia adalah makluk ciptaan Tuhan yang segambar dan serupa dengan Allah. Dalam konteks manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan, manusia memiliki perilaku tertentu. Perilaku ini sering berbeda dan sama antara satu pribadi dengan pribadi yang lain. Dalam segi definisi, perilaku diartikan tindakan atau aktivitas manusia yang bersifat negatif maupun positif.
Perilaku juga dapat diartikan sebagai respon seseorang terhadap stimulus dari luar. Perilaku yang dimaksud dalam definisi ini berupa tindakan seperti; berjalan, berbicara, tertawa, menangis, bekerja, menulis, belajar, membaca dan lain sebagainya.
Berdasarkan pengertian perilaku sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka yang dimaksud dengan perilaku menyimpang anak sekolah dasar usia 6-12 tahun diartikan sebagai berikut:
Perilaku menyimpang anak adalah kejahatan anak atau lebih tepatnya kenakalan anak. Sebenarnya hakikat terdalam penyimpangan perilaku anak adalah perbuatan melawan hukum, anti sosial, anti susila dan melanggar norma-norma agama. Dalam ilmu hukum atau hokum pidana disebut “kejahatan dan pelanggaran” (Sudarsono, 2004:1-2).
Faktor Perilaku Menyimpang Anak
Faktor adalah hal-hal yang menyebabkan terjadinya sesuatu. Dengan pengertian ini, yang dimaksud dengan faktor perilaku menyimpang yaitu hal-hal yang menyebabkan terjadinya perilaku menyimpang dalam diri anak Sekolah Dasar usia 6-12 tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyimpangan perilaku anak Sekolah Dasar dapat diamati dalam beberapa faktor berikut ini.
Faktor Keluarga
Keluarga terdiri dari Ayah dan Ibu serta anak. Dalam keluarga berlangsung pendidikan yang membentuk perilaku anak yang diharapkan menunjukkan sikap-sikap terpuji sesuai nilai-nilai Kristiani yang diajarkan kepada anak. Menurut Nicholas P. Wolterstorff, mendidik seorang anak, baik yang dinyatakan secara gamblang maupun tidak, harus senantiasa ditujukan kepada suatu cara hidup tertentu di dunia bagi anak itu. Ia melanjutkan komentar tentang pendidikan anak dengan menyatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk mmembuat perubahan-perubahan tertentu dalam diri anak (Nicholas P. Wolterstorff, 2010:111).
Upaya positif dalam keluarga terhadap perilaku anak diharapkan membentuk perilaku yang baik dalam diri anak, khususnya anak usia sekolah dasar. Namun sering keluarga juga menjadi salah satu faktor kenakalan anak atau penyimpangan perilaku anak. Penyimpangan perilaku seperti yang dimaksud di atas dapat berpengaruh bagi rasa kurang aman para orangtua dan sekolah. Penyimpangan perilaku anak tentu harus di atasi. Tindakan edukatif seperti ini perlu dilakukan karena jika tidak maka akan terjadi sebagaimana yang disampaikan oleh W. A Bonger, yaitu: “mencegah kejahatan adalah lebih baik daripada mencoba mendidik penjahat menjadi orang baik kembali” (W.A. Bonger, 1970:192).
Pernyataan di atas menegaskan bahwa perioritas utama di dalam menghadapi masalah penyimpangan perilaku atau kenakalan anak adalah mencegah dengan cara yang memadai dan komprehensif. Dengan kata lain pembinaan moral dan membina kekuatan mental anak akan menolong anak tertolong dalam kemampuan mengatasi perilaku menyimpang. Dengan pembinaan moral yang baik diharapkan anak tidak mudah terjerumus dalam perbuatan-perbuatan yang menyimpang.
Keluarga memiliki peranan penting dalam mengembangkan pribadi anak. Untuk mewujudkan maksud ini, peranan orangtua dalam hal mendoakan anak, mendidik dengan cinta kasih, menunjukkan integritas sebagai orangtua. Melalui perilaku orangtua seperti ini anak mendapat pengaruh positif dari nilai-nilai kehidupan orangtua yang didasarkan pada ajaran Alkitab dan nilai-nilai sosial budaya yang tidak bertentangan dengan firman Tuhan.
Pemaparan di atas memberi kejelasan bahwa keluarga menjadi salah satu faktor terbentuknya perilaku positif anak. Namun sering juga terjadi bahwa peran keluarga terhadap perkembangan perilaku anak tidak berjalan sesuai harapan. Misalnya kesibukan orangtua dalam pekerjaan yang menyebabkan sedikit waktu untuk anak, kurangnya perhatian orangtua terhadap anak dalam hal memberi nasehat rohani kepada anak dan juga kurangnya memberi contoh kepada anak sebagaimana yang dilakukan oleh orangtua yang sukses dalam membentuk perilaku anak pada perilaku unggul yaitu perilaku yang sesuai norma-norma di keluarga dan sekolah serta masyarakat.
Keluarga yang terlalu sibuk dalam pekerjaan, berkurangnya perhatian orangtua terhadap anak, hilangnya rasa kasih sayang dalam diri anak terhadap orangtua, kurangnya nasehat rohani kepada anak menjadi faktor penyimpangan perilaku pada anak yang kemudian di bawa ke sekolah.
Hal-hal yang dipaparkan di atas tidak harus terjadi dalam diri anak bila keluarga menempatkan dirinya sebagai lingkungan yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan dan di dalamnya anak mendapatkan pendidikan pertama kali. Keluarga semestinya menjadi kelompok masyarakat terkecil, tetapi merupakan lingkungan paling kuat dalam membesarkan anak yang dimulai sejak lahir. Oleh karena itu keluarga khususnya orangtua yang baik akan berjuang untuk menanamkan pengaruh positif bagi perilaku anak (Agus Sujanto, 1981:226). Akan tetapi, keluarga pun dapat menjadi sebab perilaku negatif pada anak.
Salah satu faktor yang menjadi penyebab perilaku menyimpang pada anak yakni ketika terjadi broken home dalam keluarga. Menurut pendapat umum, broken home kemungkinan besar menyebabkan terjadinya kenakalan anak. Broken home terjadi karena perceraian/perpisahan, atau salah satu dari kedua orangtua atau kedua-duanya meninggal dunia, atau salah satu dari kedua orangtua atau keduanya tidak hadir secara kontinyu dalam tenggang waktu yang cukup lama, atau anak yang tidak jelas asal-usulnya (lahir bukan karena perkawinan sah), hal-hal ini sangat mempengaruhi perkembangan normal seorang anak (Lamya Moeljatno, 1981:115).
Keadaan keluarga yang tidak normal bukan hanya terjadi pada broken home, tetapi dalam masyarakat modern sering pula terjadi suatu gejala adanya “broken homesemu” (quasi broken home): kedua orangtua masih utuh, tetapi karena kesibukan masing-masing menyebabkan orangtua tidak sempat memberikan perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak (orangtua jarang bertemu dengan anak). Keadaan semacam ini jelas tidak menguntungkan anak. Anak dapat mengalami frustasi, konflik-konflik psikologis, sehingga dapat mudah mendorong anak menjadi delinkuen. (Bimo Walgito, 1982:11). Baik broken home maupun quasi broken home dapat menimbulkan ketidak harmonisan dalam keluarga atau disintegrasi sehingga memberikan pengaruh buruk terhadap perkembangan anak.
Perilaku juga dapat diartikan sebagai respon seseorang terhadap stimulus dari luar. Perilaku yang dimaksud dalam definisi ini berupa tindakan seperti; berjalan, berbicara, tertawa, menangis, bekerja, menulis, belajar, membaca dan lain sebagainya.
Berdasarkan pengertian perilaku sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka yang dimaksud dengan perilaku menyimpang anak sekolah dasar usia 6-12 tahun diartikan sebagai berikut:
Perilaku menyimpang anak adalah kejahatan anak atau lebih tepatnya kenakalan anak. Sebenarnya hakikat terdalam penyimpangan perilaku anak adalah perbuatan melawan hukum, anti sosial, anti susila dan melanggar norma-norma agama. Dalam ilmu hukum atau hokum pidana disebut “kejahatan dan pelanggaran” (Sudarsono, 2004:1-2).
Faktor Perilaku Menyimpang Anak
Faktor adalah hal-hal yang menyebabkan terjadinya sesuatu. Dengan pengertian ini, yang dimaksud dengan faktor perilaku menyimpang yaitu hal-hal yang menyebabkan terjadinya perilaku menyimpang dalam diri anak Sekolah Dasar usia 6-12 tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyimpangan perilaku anak Sekolah Dasar dapat diamati dalam beberapa faktor berikut ini.
Faktor Keluarga
Keluarga terdiri dari Ayah dan Ibu serta anak. Dalam keluarga berlangsung pendidikan yang membentuk perilaku anak yang diharapkan menunjukkan sikap-sikap terpuji sesuai nilai-nilai Kristiani yang diajarkan kepada anak. Menurut Nicholas P. Wolterstorff, mendidik seorang anak, baik yang dinyatakan secara gamblang maupun tidak, harus senantiasa ditujukan kepada suatu cara hidup tertentu di dunia bagi anak itu. Ia melanjutkan komentar tentang pendidikan anak dengan menyatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk mmembuat perubahan-perubahan tertentu dalam diri anak (Nicholas P. Wolterstorff, 2010:111).
Upaya positif dalam keluarga terhadap perilaku anak diharapkan membentuk perilaku yang baik dalam diri anak, khususnya anak usia sekolah dasar. Namun sering keluarga juga menjadi salah satu faktor kenakalan anak atau penyimpangan perilaku anak. Penyimpangan perilaku seperti yang dimaksud di atas dapat berpengaruh bagi rasa kurang aman para orangtua dan sekolah. Penyimpangan perilaku anak tentu harus di atasi. Tindakan edukatif seperti ini perlu dilakukan karena jika tidak maka akan terjadi sebagaimana yang disampaikan oleh W. A Bonger, yaitu: “mencegah kejahatan adalah lebih baik daripada mencoba mendidik penjahat menjadi orang baik kembali” (W.A. Bonger, 1970:192).
Pernyataan di atas menegaskan bahwa perioritas utama di dalam menghadapi masalah penyimpangan perilaku atau kenakalan anak adalah mencegah dengan cara yang memadai dan komprehensif. Dengan kata lain pembinaan moral dan membina kekuatan mental anak akan menolong anak tertolong dalam kemampuan mengatasi perilaku menyimpang. Dengan pembinaan moral yang baik diharapkan anak tidak mudah terjerumus dalam perbuatan-perbuatan yang menyimpang.
Keluarga memiliki peranan penting dalam mengembangkan pribadi anak. Untuk mewujudkan maksud ini, peranan orangtua dalam hal mendoakan anak, mendidik dengan cinta kasih, menunjukkan integritas sebagai orangtua. Melalui perilaku orangtua seperti ini anak mendapat pengaruh positif dari nilai-nilai kehidupan orangtua yang didasarkan pada ajaran Alkitab dan nilai-nilai sosial budaya yang tidak bertentangan dengan firman Tuhan.
Pemaparan di atas memberi kejelasan bahwa keluarga menjadi salah satu faktor terbentuknya perilaku positif anak. Namun sering juga terjadi bahwa peran keluarga terhadap perkembangan perilaku anak tidak berjalan sesuai harapan. Misalnya kesibukan orangtua dalam pekerjaan yang menyebabkan sedikit waktu untuk anak, kurangnya perhatian orangtua terhadap anak dalam hal memberi nasehat rohani kepada anak dan juga kurangnya memberi contoh kepada anak sebagaimana yang dilakukan oleh orangtua yang sukses dalam membentuk perilaku anak pada perilaku unggul yaitu perilaku yang sesuai norma-norma di keluarga dan sekolah serta masyarakat.
Keluarga yang terlalu sibuk dalam pekerjaan, berkurangnya perhatian orangtua terhadap anak, hilangnya rasa kasih sayang dalam diri anak terhadap orangtua, kurangnya nasehat rohani kepada anak menjadi faktor penyimpangan perilaku pada anak yang kemudian di bawa ke sekolah.
Hal-hal yang dipaparkan di atas tidak harus terjadi dalam diri anak bila keluarga menempatkan dirinya sebagai lingkungan yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan dan di dalamnya anak mendapatkan pendidikan pertama kali. Keluarga semestinya menjadi kelompok masyarakat terkecil, tetapi merupakan lingkungan paling kuat dalam membesarkan anak yang dimulai sejak lahir. Oleh karena itu keluarga khususnya orangtua yang baik akan berjuang untuk menanamkan pengaruh positif bagi perilaku anak (Agus Sujanto, 1981:226). Akan tetapi, keluarga pun dapat menjadi sebab perilaku negatif pada anak.
Salah satu faktor yang menjadi penyebab perilaku menyimpang pada anak yakni ketika terjadi broken home dalam keluarga. Menurut pendapat umum, broken home kemungkinan besar menyebabkan terjadinya kenakalan anak. Broken home terjadi karena perceraian/perpisahan, atau salah satu dari kedua orangtua atau kedua-duanya meninggal dunia, atau salah satu dari kedua orangtua atau keduanya tidak hadir secara kontinyu dalam tenggang waktu yang cukup lama, atau anak yang tidak jelas asal-usulnya (lahir bukan karena perkawinan sah), hal-hal ini sangat mempengaruhi perkembangan normal seorang anak (Lamya Moeljatno, 1981:115).
Keadaan keluarga yang tidak normal bukan hanya terjadi pada broken home, tetapi dalam masyarakat modern sering pula terjadi suatu gejala adanya “broken homesemu” (quasi broken home): kedua orangtua masih utuh, tetapi karena kesibukan masing-masing menyebabkan orangtua tidak sempat memberikan perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak (orangtua jarang bertemu dengan anak). Keadaan semacam ini jelas tidak menguntungkan anak. Anak dapat mengalami frustasi, konflik-konflik psikologis, sehingga dapat mudah mendorong anak menjadi delinkuen. (Bimo Walgito, 1982:11). Baik broken home maupun quasi broken home dapat menimbulkan ketidak harmonisan dalam keluarga atau disintegrasi sehingga memberikan pengaruh buruk terhadap perkembangan anak.
Sambil Berkantor Baca Artikel Perilaku Anak
Reviewed by Yonas Muanley
on
February 09, 2020
Rating:
No comments:
Note: Only a member of this blog may post a comment.